Prediksi SDY — Antusiasme dan harapan baru terpancar di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 15 Magelang, Jawa Tengah, saat siswa-siswi menerima laporan hasil belajar semester gasal tahun ajaran 2025/2026. Di antara mereka, Nazwa Azzahra (15), siswi kelas 10 asal Borobudur, bersinar sebagai siswa paling berprestasi di kelasnya. Lembar rapor yang ia pegang bukan sekadar angka, melainkan bukti nyata perjuangan pendidikannya yang nyaris terhenti.
Dukungan Keluarga di Tengah Keterbatasan
Nazwa tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya, Nurahim, berjualan es keliling, sementara ibunya, Siti Khotimah (34), berjualan bubur di pagi hari dan mengelola warung sayur hingga sore. Keterlibatan Nazwa dalam membantu usaha keluarga adalah hal biasa sebelum ia bersekolah. “Setiap pagi, sebelum masuk ke sini, saya sering membantu ibu berjualan,” kenang Nazwa. Penurunan kondisi ekonomi sempat membuat orang tuanya gamang akan kelanjutan pendidikan anak sulung dari empat bersaudara ini.
Harapan itu kembali menyala ketika mereka mengenal program Sekolah Rakyat. “Saat itu, ayah dan ibu bingung apakah saya akan lanjut sekolah atau tidak. Ekonomi keluarga sedang menurun. Lalu, dari ibu-ibu penerima PKH, ada informasi tentang Sekolah Rakyat,” jelas Nazwa.
Minat Baru dan Cita-Cita yang Menggelora
Di SRMA, minat belajar Nazwa menemukan jalannya. Ketertarikan besarnya pada Ilmu Pengetahuan Sosial, khususnya geografi, tumbuh subur. Hal yang sebelumnya kurang disukai, seperti peta dan planet, kini justru memicu semangat belajarnya. Dengan tekad bulat, ia menyuarakan cita-citanya yang tinggi: bekerja di Badan Informasi Geospasial (BIG), menjadi orang sukses, mengajak orang tua pergi ke Mekkah, atau bahkan menjadi bupati atau gubernur.
“Saya mempunyai cita-cita banyak banget. Saya percaya pendidikan yang dikejar sungguh-sungguh akan membawa hidup yang lebih baik,” ujarnya penuh keyakinan.
Lebih dari Sekadar Akademik: Transformasi Holistik
Bagi Nazwa, SRMA adalah ruang belajar yang lengkap. Di sana, ia tidak hanya menyerap pelajaran formal, tetapi juga nilai-nilai kehidupan dari guru, wali asuh, wali asrama, dan teman-teman yang suportif. Kegiatan seperti pramuka turut mengisi hari-harinya. “Saya di sini sangat senang karena bisa membantu mengurangi beban orang tua,” tuturnya.
Kedisiplinan hidup di asrama, dengan jadwal teratur dari subuh hingga malam yang diisi ibadah, mengulang pelajaran, dan apel penutupan, justru memberikannya rasa aman dan nyaman. Disiplin itu membentuknya menjadi pribadi yang lebih teratur.
Kebanggaan Seorang Ibu: Melihat Perubahan Nyata
Siti Khotimah, ibu Nazwa, tak bisa menyembunyikan rasa bangganya. Perubahan pada anak sulungnya terasa nyata, baik secara akademik maupun karakter. Rapor semester menunjukkan peningkatan nilai, terutama di geografi yang mencapai 9,8. “Saya bangga sekali. Saya merasa belum bisa mendidik dengan maksimal di rumah. Di sini, anak saya benar-benar dipantau oleh tenaga pendidik,” ucap Siti.
Perubahan fisik dan karakter Nazwa juga tampak. “Karakternya jadi lebih baik lagi. Secara fisik, dia hanya mengeluh lebih gemuk, mungkin karena makanannya di sini lebih teratur dan bergizi,” tambahnya. Bagi Siti, pendidikan Nazwa melampaui angka di rapor. Ia berharap putrinya tumbuh menjadi pribadi yang terus berkembang, mandiri, dan sukses, tanpa melupakan ibadah. “Saya hanya bisa berdoa dan mendukung,” pungkasnya penuh haru.
Kisah Nazwa adalah potret nyata tentang bagaimana akses pendidikan yang merata dan lingkungan yang suportif dapat menjadi katalis untuk mengubah keterbatasan menjadi peluang, menyalakan mimpi, dan membentuk generasi penerus yang tangguh dan bercita-cita tinggi.